Faktamedan.id, NASIONAL – Tim Media Fakta memperoleh dokumen internal yang memperlihatkan rincian sejumlah Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD Kalimantan Barat.
Dokumen tersebut diterima dari sumber pemerintahan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Sebelumnya, permintaan melalui surat resmi kepada sejumlah instansi terkait hanya dijawab dengan data mentah.
Bahkan, Dinas PUPR dan Dinas Perkim sama sekali tidak memberikan respons.
Yang mencengangkan, dari data yang diperoleh terlihat banyak Pokir anggota dewan justru ditempatkan di luar daerah pemilihan (dapil) pengusulnya.
Padahal, secara regulasi, setiap Pokir semestinya merupakan hasil reses dan penjaringan aspirasi masyarakat di wilayah dapil masing-masing.
Temuan ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai keabsahan proses reses atau penjaringan aspirasi serta potensi penyimpangan dalam anggaran daerah.
Lebih jauh, temuan ini seakan menjawab alasan di balik keengganan sejumlah instansi membuka data Pokir kepada publik, seolah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan dari pantauan masyarakat.
Padahal, seluruh kegiatan tersebut menggunakan dana APBD yang seharusnya dikelola secara terbuka dan transparan sesuai amanat undang-undang.
Dari dokumen yang didapatkan Tim Media Fakta, terlihat bahwa sejumlah usulan Pokir ditempatkan di kabupaten atau kecamatan yang berbeda dari wilayah pemilihan anggota DPRD pengusulnya.
Investigasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa praktik penempatan Pokir di luar dapil ini tidak hanya dilakukan oleh anggota biasa, tetapi juga melibatkan unsur pimpinan DPRD.
Pola ini memperlihatkan indikasi masalah struktural dalam pengelolaan anggaran aspirasi di tingkat legislatif Kalbar.
Semua usulan tersebut dikemas menjadi proyek fisik yang dipecah-pecah menjadi maksimal Rp200 juta – Rp500 juta.
Tujuannya adalah agar mekanisme pelaksanaannya dapat dilakukan melalui penunjukan langsung tanpa proses tender terbuka.
Yang menjadi primadona adalah proyek normalisasi saluran yang rawan korupsi dan sulit diverifikasi hasilnya di lapangan.
Saat ini, tim Media Fakta Group masih bekerja keras menghitung detail dan akumulasi besaran anggaran Pokir yang terdistribusi secara tidak wajar ini.
Selain itu, muncul pula dugaan kuat bahwa ada jenis-jenis Pokir yang tujuannya dinilai tidak masuk akal atau tidak tepat sasaran.
Tim Media Fakta menduga kuat adanya usulan yang sifatnya janggal, aneh, dan tidak terukur hasilnya, mengindikasikan bahwa proyek tersebut mungkin tidak murni berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Menurut Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 Pasal 78 ayat (2) huruf c, Pokir merupakan hasil penjaringan aspirasi masyarakat yang diperoleh dari reses anggota DPRD di dapilnya.
Artinya, setiap usulan di luar dapil tidak dapat dikategorikan sebagai Pokir sah karena tidak mencerminkan aspirasi konstituen yang diwakilinya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berulang kali mengingatkan pemerintah daerah dan DPRD agar tidak menyalahgunakan mekanisme Pokir.
Menurut Koordinator Wilayah IV KPK, Dian Patria, usulan Pokir harus murni bersumber dari aspirasi masyarakat di dapil.
“Pokir itu hasil reses. Kalau tiba-tiba ada usulan di luar dapil, itu bukan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Biasanya, kasus seperti ini muncul karena kepentingan proyek,” tegas Dian Patria dalam Rakor Pencegahan Korupsi Tahun 2024.
KPK juga mencatat sejumlah kasus serupa di berbagai provinsi, seperti di Jawa Timur dan NTB, di mana anggota DPRD diduga mengatur proyek Pokir di luar dapil dengan imbalan tertentu dari rekanan.
Peringatan serupa disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Ia menegaskan bahwa Pokir merupakan sarana penyaluran aspirasi masyarakat di wilayah representasi masing-masing anggota dewan.
“Pokir bukan alat untuk menitipkan proyek, apalagi di luar wilayah dapil. Kalau begitu, itu sudah bukan fungsi representasi, tetapi permainan anggaran,” kata Tito dalam Rakornas DPRD se-Indonesia, 2023.
Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) Kalimantan Barat, M. Rifal, menilai temuan tersebut bisa menjadi indikasi penyimpangan dan lemahnya transparansi dalam perencanaan APBD.
“Kalau Pokir berada di luar dapil, itu jelas pelanggaran prinsip perencanaan partisipatif. Ini patut diaudit karena berpotensi jadi sarana bagi oknum tertentu untuk bermain proyek,” ujar Rifal ketika dihubungi, Senin (7/10/2024).
Menurut Rifal, pola semacam ini sering digunakan untuk memanipulasi distribusi proyek dengan tujuan politik atau kepentingan pribadi.
“Ini bukan lagi soal aspirasi masyarakat, tetapi sudah bergeser menjadi permainan anggaran yang merusak integritas DPRD,” tambahnya.
Transparansi data Pokir bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Permendagri 86 Tahun 2017.
Tanpa keterbukaan, Pokir akan terus menjadi ruang gelap bagi penyimpangan anggaran dan korupsi berjamaah di daerah.
(*Red)