Strategi Ekstradisi KPK untuk Membawa Pulang Buronan e-KTP Paulus Tannos

Gedung Merah Putih KPK/tersangka/(fkn)
Gedung KPK/(ist/fkn)

Faktamedan.id, MEDAN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali gencar mengejar buronan kasus korupsi proyek e-KTP, Paulus Tannos, yang hingga kini masih berkeliaran di luar negeri.

KPK berharap proses ekstradisi dapat segera membawanya pulang ke Tanah Air untuk menjalani proses hukum.

Di sisi lain, muncul sorotan dari berbagai pihak terkait lemahnya sistem ekstradisi yang membuat buron seperti Tannos bisa leluasa mengajukan penangguhan penahanan di Singapura.

Simak ulasan mendalam berikut ini mengenai langkah KPK, peran Kemenkumham dan Kemenlu, serta kritikan dari DPR.

KPK, melalui Juru Bicara Budi Prasetyo, menyatakan dukungannya terhadap upaya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mengekstradisi Paulus Tannos dari Singapura.

Menurut Budi, “KPK mendukung langkah-langkah Kemenkum dan Kemenlu RI yang terus intens berkoordinasi dengan pihak pemerintah Singapura dalam upaya ekstradisi DPO Paulus Tannos.” Dukungan ini penting agar proses penanganan perkara e-KTP dapat dilanjutkan hingga tuntas.

Proses ekstradisi Paulus Tannos dipandang strategis untuk memastikan buronan tidak lepas dari jerat hukum. Jika Tannos berhasil diekstradisi, KPK akan lebih mudah melanjutkan penyidikan dan persidangan atas dugaan korupsi senilai triliunan rupiah pada proyek e-KTP.

Menurut KPK, kerja sama bilateral dengan Singapura harus diperkuat agar tidak ada celah hukum yang memudahkan buron menunda-nunda penyerahan diri.

Selain itu, keberhasilan ekstradisi juga dapat menjadi preseden baik dalam pemberantasan korupsi dan menjaga citra positif hubungan diplomatik kedua negara.

Baca Juga: Kasus Dugaan Pemerasan di Kemnaker: Saksi Diperiksa KPK, Jejak Uang Rp 53 Miliar dan Peran Pejabat

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, mengkritik sistem ekstradisi yang dinilai lemah karena buron masih memiliki peluang menunda penahanan dan menunda proses ekstradisi.

Andreas menyoroti kasus Paulus Tannos yang menolak kembali ke Indonesia dan justru mengajukan penangguhan penahanan di Singapura.

“Mengapa harus menunggu Paulus Tannos secara sukarela menyerahkan diri?” tanya Andreas. Ia menekankan bahwa sistem ekstradisi seharusnya memiliki daya paksa yang lebih kuat agar buron tidak dapat mengulur waktu.

Lebih lanjut, Andreas membandingkan kondisi Paulus Tannos dengan tersangka lain yang sudah diekstradisi dengan sukarela karena tidak dapat mengajukan penangguhan penahanan.

Ia menilai perjanjian ekstradisi yang ada dianggap hanya menunggu buron menyerahkan diri, bukan memaksa secara hukum. Kondisi ini dinilai bisa menimbulkan preseden buruk karena menunggu inisiatif buron, bukan proses hukum yang mengikat secara efektif.

Hingga kini, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Widodo, menyebut bahwa proses hukum di Singapura masih berjalan dan Paulus Tannos belum bersedia diserahkan secara sukarela.

Alhasil, upaya pemerintah melalui mekanisme ekstradisi masih harus menunggu putusan otoritas Singapura atas penangguhan penahanan yang diajukan Tannos.[dit]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *