Analisis: Desakan Reformasi Polri Gatot Nurmantyo Cs Lebih Tekanan Politik Daripada Dorongan Moral

Reformasi Polri Gatot Nurmantyo Dianggap Tekanan Politik
Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi/Dokpri.

Faktamedan.id, NASIONAL – Desakan dari mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo agar Presiden Prabowo Subianto segera merealisasikan Reformasi Polri menuai sorotan tajam. Gatot menggunakan kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa sebagai pijakan argumennya. Namun, desakan ini justru tampak lebih menyerupai Tekanan Politik Reformasi Polri ketimbang dorongan moral yang tulus untuk memperbaiki institusi kepolisian.

Jika niat reformasi yang dimaksud benar-benar berangkat dari kepentingan bangsa, maka argumen Gatot dan para purnawirawan TNI lain yang mendukungnya akan berfokus pada substansi perbaikan struktural dan kultural. Bukan pada tuntutan personal seperti mendesak pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Bukan Reformasi, Melainkan Perebutan Pengaruh

Dalam konteks ini, publik berhak bertanya: Apakah yang sedang diusung adalah reformasi kelembagaan Polri, ataukah perebutan pengaruh antara dua institusi bersenjata yang sejak lama memiliki sejarah kompetisi terselubung?

Dua kasus besar, Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, memang pernah mengguncang kepercayaan publik. Namun, menjadikan dua kasus itu sebagai legitimasi untuk menuntut reformasi total Polri adalah bentuk penyederhanaan yang berlebihan dan menyesatkan. Faktanya, Polri justru telah menunjukkan kemampuan adaptif dan kapasitas internalnya. Mereka menangani dua kasus itu secara terbuka, dan proses hukum berjalan hingga ke meja hijau.

Dalam sistem birokrasi, yang terpenting adalah bagaimana institusi menegakkan mekanisme koreksi atas penyimpangan. Di titik ini, Polri terbukti tidak menutupi kesalahan, melainkan menindak tegas hingga ke jajaran tertinggi.

Risiko Intervensi dan Rivalitas Institusional

Munculnya sederet nama purnawirawan TNI dalam barisan pendesak reformasi, seperti Gatot Nurmantyo, Soenarko, dan Soleman Ponto, mempertegas aroma politik di balik wacana tersebut. Meskipun dari luar terlihat seperti kepedulian, sulit menafikan adanya motif pengaruh dan kepentingan atas tubuh Polri. Polri selama dua dekade terakhir telah semakin kuat secara politik, ekonomi, dan sosial, dan bukan lagi bayangan subordinat militer seperti di masa lalu.

Reformasi yang lahir dari tekanan eksternal berisiko menggerus kemandirian Polri dan justru menimbulkan ketegangan horizontal antara Polri dan TNI. Presiden Prabowo, yang lahir dari kultur militer, tentu menyadari hal ini. Beliau paham bahwa perubahan tidak boleh dilakukan dengan intervensi kelompok yang memiliki sejarah rivalitas institusional.

Presiden Prabowo tampaknya memilih jalan evolusi, bukan revolusi. Ia membiarkan Polri berbenah dengan tempo sendiri, sembari memastikan bahwa arah Reformasi Polri berjalan di bawah kendali negara. Ini merupakan langkah kehati-hatian untuk menjaga keseimbangan antar-institusi keamanan dan mencegah konflik laten antara dua korps bersenjata. Reformasi Polri bukanlah proyek balas dendam, melainkan proses rasional yang harus dikawal dengan ketenangan, bukan dengan emosi dan ketergesa-gesaan politik.

(*Drw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *