Mengungkap Dugaan Gratifikasi Gubernur Bengkulu

Gedung Merah Putih KPK/Kemnaker/zul-fkn
Gedung Merah Putih KPK//zul-fkn

Faktamedan.id, MEDAN – Kasus dugaan gratifikasi mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah kembali mencuat di Pengadilan Tipikor Bengkulu setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan tujuh pejabat tinggi Pemprov Bengkulu sebagai saksi.

Dari Kepala Dispora hingga Asisten Setda, keterangan mereka memaparkan aliran dana dan tekanan politik yang diduga digunakan untuk mendukung pencalonan Pilkada 2024.

Menurut Meri Sasdi, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, pada Juni–Agustus 2024 Gubernur Rohidin Mersyah memerintahkan dukungan logistik dan finansial untuk pemenangan Pilkada 2024, khususnya di Kabupaten Kaur.

Permintaan awal Rp 175 juta kemudian bertambah menjadi Rp 195 juta yang disalurkan melalui ajudan Asisten III Setda. Kondisi ini memunculkan dugaan tekanan politik dan gratifikasi yang melanggar Undang-Undang Tipikor.

Ketujuh saksi—termasuk Kepala Dispora Ika Joni Ikhwan dan Kepala BPKAD Haryadi—menegaskan adanya arahan lisan dari Mantan Gubernur tanpa dasar tertulis.

Mereka diharuskan mendukung pencalonan dengan menyediakan baliho, logistik, dan dana tunai.

Beberapa saksi mengaku khawatir akan mutasi bila tidak mematuhi “permintaan” tersebut. Keterangan ini menguatkan gugatan KPK bahwa aliran dana hingga Rp 30,3 miliar digunakan untuk kepentingan politik praktis.

Baca Juga: Penunjukan Budi Prasetyo oleh KPK untuk Optimalisasi Fungsi Penyelidikan dan Pencegahan Korupsi

Pengusutan kasus Rohidin Mersyah menegaskan pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan di daerah.

Apabila terbukti, putusan tipikor akan menjadi preseden bagi penyelenggara daerah lain agar menjauhkan birokrasi dari praktik korupsi politik.

Selain sanksi pidana, Pemprov Bengkulu harus memperkuat sistem pengendalian internal, membangun Whistleblowing System, dan memperketat audit keuangan untuk mencegah potensi gratifikasi.

Kasus ini juga menuntut partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pilkada. Dengan keterlibatan aktif warga, praktik “uang politik” dapat diminimalkan.

Reformasi birokrasi dan integritas penyelenggara negara menjadi kunci menegakkan citra demokrasi yang bersih dan berwibawa di tingkat daerah.[dit]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *